Maaf, sayang! Perginya suamimu ini, lebih kepada - ketidak sanggupanku untuk bertemu muka lagi dengan adikmu. Sekali lagi, maafkan suami mu ini.
Aku pun melangkah menuju ke mobil setelah sebelumnya ku panaskan, dan serta membuka pintu garasi lebar-lebar. Beresā¦. Kini, aku pun telah pergi meninggalkan rumah dengan di iringi doa dan lambaian tangan istriku.
Selanjutnya, istriku pun meminta tanganku untuk ia salim, setelah itu, aku berpamitan pada istriku dengan berucap salam, āAssalamualaikum bun, ayah berangkat yah sayangā āWaāalaikumsalam, hati-hati ayah.ā āIya sayangā
Andai saja, dia mau melayani birahiku sejak kepulanganku dari meeting di Jakarta, mungkin tak bakal kejadian semalam dan juga tak bakal ku tinggalkan ia kembali seperti pagi ini. āHehe sabar bun. Kan lagian, ada Azizah juga yang nemeninā balasku padanya. āYa udah dehā
āHmm keliling sih bun. Makanya mungkin semingguan ayah di luar kotaā āFiuhh, baru juga datang, udah harus pergi lagiā gerutu istriku. Aku pun mengusap lembut pipinya, dan meminta maaf sedalam-dalamnya dalam hati ini, jika dengan tega membohonginya.
āNanti sarapannya bareng Pak Syarif ajaā ujarku, menyebut nama Supervisorku yang juga menjadi alasanku sebelumnya pada istri, jika aku, akan keluar kota bersama Pak Syarif. āRencana emangnya mau kemana- mana aja, yah?ā tanya istriku.
āLoh ayah gak sarapan dulu, tuh, bunda lagi pengen siapinā¦. sekalian mau bangunkan Zizah juga karena tadi dia gak sholat alasannya lagi dapet katanya. Makanya dia belum bangun lagi sekarangā Ohhh. Gitu. Haha! Bukan lagi dapet bun, tapi adikmu belum bersih-bersih sehabis di setubuhi suamimu. Batinku.
Tepat jam 6 lewat 15 menit, aku pun sudah siap berangkat. āBunā¦. ayah harus berangkat sekarang!ā begitu ujarku, bukan karena apa - aku tak ingin melihat Azizah yang sepertinya juga masih berada di kamar.
Mau tak mau istriku juga mempercayai ucapanku, dan segera menyiapkan perlengkapanku sepagi buta ini untuk keluar kota seperti biasanya.